“Dunia dan akhirat ibarat gelas dan kopi. Ketika kita memesan kopi, gelas akan datang dengan sendirinya. Namun, jika kita hanya meminta gelas, mustahil kopi  mengisi gelas tersebut.”

“ Dunia adalah negeri kesibukan dan akhirat adalah negeri kengerian. Seorang hamba masih tetap dalam keadaan terombang-ambing antara kesibukan dan kengerian hingga menempati tempat tinggalnya yang tetap, adakalanya di surga dan adakalanya di neraka.”

“ Dunia itu rusak terbengkalai dan yang lebih rusak lagi adalah kalbu orang yang meramaikannya. Akhirat adalah negeri kengerian dan yang lebih ramai lagi adalah kalbu orang yang mencarinya.”

Orang yang sibuk pada dunia menganggap belajar Islam adalah sampingan. Padahal belajar Islam adalah yang utama, baru belajar untuk keduniaan. Alasan manusia dilahirkan ke dunia adalah karena mempunyai tugas, yakni mengabdi pada Allah dengan tulus ikhlas karena Allah semata (semoga Allah memberi petunjuk). Untuk Allah-lah kita hidup. Banyak orang yang punya jabatan orang menganggap tinggi, berprestasi, populer, kaya raya, dsb maka dialah yang sukses, padahal belum tentu. Seringkali kita terjebak penilaian kesuksesan seseorang pada keduniaan saja, bukan apakah Allah merahmati/ ridho atau murka pada dia.

Semua orang, pasti bercita-cita ingin hidup sukses dunia dan akhirat. Memiliki harta yang melimpah, keluarga yang begitu disayangi dan menyanyanginya, serta jabatan yang tinggi di mata masyarakat. Selain kenikmatan dunia tersebut, ia juga meluangkan waktu untuk beribadah kepada Tuhan sehingga dapat menyeimbangkan tuntutan dunia dan kewajiban akhirat. Meskipun orang-orang berusaha untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan bekal akhirat nanti, tetap saja mereka sulit untuk melakukan sepenuhnya karena Allah SWT.

Di dalam QS. Al-Qashash ayat 77, Allah SWT berfirman: “ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa memang perlu keseimbangan antara kehidupan di akhirat dan kehidupan di dunia. Untuk memperoleh kehidupan yang diridoi Allah baik di dunia maupun di akhirat kita diperintahkan untuk berbuat baik, untuk beramal dan untuk berkontribusi kepada masyarakat. Kita diperintahkan untuk tidak membuat bencana untuk tidak menyukarkan atau menyusahkan orang lain.

Ibnu Katsir rahimahullâh menjelaskan ayat diatas dengan pernyataannya:

“Pergunakanlah karunia yang telah Allâh berikan kepadamu berupa harta dan kenikmatan yang berlimpah ini, untuk mentaati Rabb-mu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia dan pahala di akhirat. Firman Allâh ‘Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi’, yaitu segala sesuatu yang diperbolehkan Allâh, yang berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Allâh mempunyai hak atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka berikanlah tiap-tiap hak kepada pemilikinya.”

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan … (Al-Qashash:77). Susunan kalimat dalam ayat Al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa kita hidup di dunia diberi anugerah (ilmu, kemampuan, harta, dsb) untuk mengutamakan mengejar akhirat, hidup untuk Allah, barulah setelah itu dikatakan jangan lupakan kebahagiaan dunia.

Janganlah terlalu sibuk dalam urusan dunia sebab ada tugas lain yang lebih penting yaitu urusan akhirat. Dan dalam melaksanakan tugas demi meraih keni’matan akhirat, setiap hamba mesti merasa seolah-olah tidak ada kesempatan lain untuk melakukannya kecuali hari ini. Maka bila sedang sibuk menghadapi urusan keduniaan kemudian mendengar panggilan Ilahi berupa shalat, da’wah, infaq, jihad dan lainnnya,  maka sambutlah panggilan ini dan tinggalkanlah urusan dunia, karena kesempatan untuk menyambut panggilan ini tidak ada lagi waktu selain hari ini sementara untuk urusan dunia waktunya sangat lapang