Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengartikan kebahagiaan. Tidak di ragukan lagi bahwa sesuatu yang berada di lingkungan kita, berpengaruh terhadap kebahagiaan kita. Akan tetapi sebab kebahagiaan itu tidak berasal dari luar. Namun tergantung pada cara kita menyikapi factor-faktor eksternal tersebut. Para psikologi menegaskan, kebahagiaan yang hakiki adalah berasal dari dalam diri manusia.

Kebahagiaan yang di ukur dengan materi, hanya akan menimbulkan angan-angan hampa yang melelahkan pikiran. Orang yang mengaitkan kebahagiaan pada pencapaian materi, lama kelamaan akan merasa bosan. Karena mereka akan sadar bahwa kebahagiaan yang mereka impikan hanya bersifat semu, padahal mereka telah mendapatkan apa yang mereka cita-citakan.

Sebagai contoh, banyak orang yang ingin mendiami rumah megah, mengendarai mobil mewah atau mengantongi uang banyak, dengan semua itu mereka berharap dapat menemukan kebahagiaan. Ketika mereka mendapatkannya, mereka tidak serta merta puas dan merasa cukup, bahkan memulai lagi dengan menggantung kebahagiaannya kepada sesuatu yang lebih besar lagi.

Harta yang di kejar-kejar oleh manusia dan menggantungkan kebahagiaan terhadap pencapaian kepadanya, bukanlah jaminan kebahagiaan. Betapa banyak orang kaya hidup dalam kesengsaraan, tetapi orang sengsara hidup dalam ketenangan. Tidak ada perbedaan antara kebahagiaan orang kaya dengan orang fakir. Kegembiraan orang kaya dengan mampu membeli mobil mewah, sama dengan kegembiraan orang miskin karena mampu membeli sepeda motor biasa.

Orang yang bertaqwa itulah, orang yang hidupnya bahagia. Dengan demikian sumber kebahagiaan berasakl dari dalam diri seseorang. Disaat ia mampu berpikir positif, beriman kepada takdir Allah, rela dengan apa yang Allah berikan kepadanya, bersikap realistis dalam memandang sesuatu dan supel bergaul dengan orang lain. Maka pada saat itulah ia akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan.

Adapun orang yang menggantungkan kebahagiaan dan ketenangan jiwanya pada hal-hal yang berasal dari luar, sungguh ia telah menggantungkannya dengan hal-hal yang mustahil. Mereka mengubah kehidupannya sehingga penuh dengan siksa dan derita. Ia akan menjadi orang yang mudah terbawa arus dan rakus. Ia merasa bahwa apa yang dimiliki orang lain lebih sempurna dari pada miliknya, walaupun pada kenyataannya tidak seperti itu. Ia menganggap nikmat Allah kepadnya sedikit, walaupun sebenarnya banyak. Ia mencari kebahagiaan di mana-mana, sedangkan kebahagiaan jelas ada di sisinya dan di bawah telapak tangannya, akan tetapi ia tidak merasakan dan tidak menyadarinya.

Mengapa orang kaya tidak mampu menemukan kebahagiaan? Jawabannya simple yaitu karena mereka tidak beriman kepada Allah. Padahal Allah telah menjamin bagi orang yang beriman kepadanya kehidupan yang baik dan bahagia. Sebagaimana yang di sebutkan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)

Dalam ayat lain, Allah menjanjikan kebahagiaan kepada orang-orang yang beriman: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. Al-An’am 82) dan firmannya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97).

Akan tetapi mereka menggantikan kebahagiaan hakiki dengan kebahagiaan dunia yang semu dan sementara. Otak mereka penuh dengan pikiran-pikiran sesat dan materialis , sehingga mereka kehilangan nilai-nilai spritual dan dasar-dasar moral. Sesuatu yang tidak di benarkan oleh akal dan agama, dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Dengan alasan modernisasi, mereka menghancurkan nilai –nilai spritual dan dasar-dasar moral. Seperti pemikiran tentang kebebasan dan persamaan hak, yang sebenarnya kedok untuk memperbolehkan melakukan segala sesuatu dan menghalalkan segala cara.

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai bagian dari penghuni surge, sebagai hamba yang pandai bersyukur atas nikmat-Nya, sabar atas keputusan-Nya, dan Kami meminta kepadaNya ampunan di dunia dan akhirat.